Dinamakan Sya’ban karena bercabang kebaikan yang banyak. Dan kenapa kaum muslimin merayakannya dan bersungguh² menghadapinya dengan taubah, ibadah dan ketaatan: dzikir, ziarah ke Rasululloh, dan lain-lain. Maka Abuya As Sayyid Muhammad Al Maliki berkata dengan qawaid, bahwa zaman itu mulia karena terjadi pada waktu itu beberapa kejadian. Dari sini diketahui sangat jelas ada keterkaitan dengan sejarah.
Ada hadits dari sahabat Utsamah bin Zaid: ya Rasulullah, saya tidak melihat engkau berpuasa dari beberapa bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban. Dijawab oleh Rasulullah: Itu adalah bulan dimana manusia banyak yang lalai dengan bulan tersebut, yakni antara Rajab dan Ramadhan.
Bulan itu diangkat atau diterima ke Tuhan semesta alam. Dan saya senang apabila diangkat amalku dan aku dalam keadaan berpuasa. (HR. An-Nasai). Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, bahwa Rasulullah berpuasa Sya’ban sebulan penuh. Sayyidah Aisyah bertanya: Ya Rasululloh, paling dicintai bagimu adalah berpuasa di bulan Sya’ban. Rasulullah menjawab: Allah menetapkan pada bulan Sya’ban setiap jiwa yang meninggal pada tahun itu. Maka aku senang dan berharap apabila ajalku datang, dan aku dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Ya’la) Dari keistimewaan bulan Sya’ban, yaitu diturunkannya bacaan sholawat kepada
Rasulullah. Keutamaan membaca sholawat atas Rasul:
1. Dibalas 10 kali
2. Barangsiapa yang membaca shalawat kepada Nabi, maka Rasulullah membacakan sholawat untuknya.
3. Sesungguhnya orang yang membaca sholawat pada Rasul, maka para malaikat membacakan sholawat untuknya.
4. Barangsiapa yang membaca shalawat kepada Rasulullah, akan diangkat derajatnya, ditambah kebaikannya dan dihapus kejelekannya. (HR. an-Nasai)
5. Orang yang membaca shalawat kepada Nabi, sama dengan memerdekakan budak 10 yang karena Allah SWT.
6. Membaca sholawat penyebab dosa-dosa diampuni. Demikian itu menurut keimanan seorang mukmin, cintanya dan ikhlasnya dalam membaca shalawat.
7. Sholawat kepada Nabi, akan memohonkan ampun bagi pembacanya, dan akan menyenangkan di kuburnya.
8. Keistimewaan membaca shalawat kepada Nabi, yaitu Rasululloh akan mensyafaatinya.
9. Keutamaan sholawat, yaitu menghilangkan dari kefakiran, dan mendapatkan limpahan kebaikan dan keberkahan.
10. Keutamaan sholawat, orang yang memperbanyak sholawat, menjadi paling utamanya manusia menurut Rasululloh, yaitu yang paling banyak membaca sholawat.
11. Berkah dan kebaikan sholawat ke Rasululloh, bisa didapati (sampai) ke putranya, dan putra putranya.
Malam yang agung, yang berkah, yang mulia. Allah Ta’ala menampakkan keagungan Nya atas makhluk Nya dengan keumuman ampunan dan mencakup rahmat-Nya. Maka Allah akan mengampuni orang yang mohon ampunan, membelas-kasihi orang yang minta belas-kasih, dan meng-ijabahi orang yang memohon, serta memberi jalan keluar bagi orang yang kesulitan. Dan Allah memerdekakan pada malam itu golongan orang-orang yang masuk neraka. Serta Allah menulis dan menetapkan rezeki-rezeki dan amal-amal.
Allah menampakkan kepada makhluk-Nya pada malam Nisfu Sya’ban. Maka Allah mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik, musyahin (munafik yang jelek/berbahaya, yang memunculkan perpecahan dan membakar permusuhan antara pecinta). Makna lain musyahin yakni permusuhan). Ulama ahli Syam berbeda pendapat tentang cara menghidupkannya:
1. Disunnahkan berjama’ah di masjid. Memakai baju yang terbaik, berminyak, bercelak pada malam tersebut.
2. Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melakukan sholat (dan amalan Nisfu Sya’ban). Dan tidak dimakruhkan bila sholat sendirian.
Anjuran dari Nabi untuk memperhatikan malam Nisfu Sya’ban Sungguh Rasululloh memerintah untuk memperhatikan malam Nisfu Sya’ban, dan mendapatkan keberkahan amal sholeh pada malam tersebut. Sebagaimana dari sahabat Ali Ra., dari Nabi S.A.W bersabda: Apabila malam Nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dan puasalah pada harinya (esoknya). Maka sesungguhnya Allah Tabaaroka wa Ta’ala turun pada malam tersebut mulai terbenamnya matahari ke langit dunia. Maka Allah berfirman : Ingatlah, adakah orang yang minta ampunan maka Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang minta rizqi, maka akan Aku beri rizqi. Adakah orang yang diuji sakit, maka Aku akan menyehatkannya. Malam nisfu Sya’ban (malam 15 Sya’ban) adalah malam mulia menurut sebagian kalangan. Sehingga mereka pun mengkhususkan amalan-amalan tertentu pada bulan tersebut. Benarkah pada malam nisfu Sya’ban punya keistimewaan dari bulan lainnya?
Allah S.W.T telah memberikan keistimewaan pada hari-hari tertentu dan tempat-tempat tertentu. Keistimewaan itu adalah berupa ampunan dosa dan pahala ibadah yang lebih besar dibanding hari-hari atau waktu-waktu biasanya. Misal saja, beribadah di Bulan Ramadhan lebih besar pahalanya dibanding bulan-bulan biasanya. Shalat di Masjidil Haram juga demikian, lebih besar pahalanya dibanding shalat di masjid biasa. Di antara keistimewaan itu adalah malam pertengahan bulan Sya’ban atau biasa orang menyebutnya malam Nishfu Sya’ban. Malam yang bertepatan dengan tanggal 15 Sya’ban.
Seorang ulama bernama Syekh Abdullah Muhammad al Ghimari menuliskan sebuah risalah yang menjelaskan keutamaan-keutamaan malam tersebut. Risalah itu beliau namai dengan judul Husnul Bayan fi Lailatin Nishfi min Sya’ban. Alasan beliau menulis risalah ini adalah, karena setiap tahun banyak masyarakat yang menanyakan amalan serta doa-doa malam Nisfu Sya’ban kepada beliau. Mulanya beliau hanya menjawab dengan lisan atau menuliskan di beberapa majalah Islam. Begitu menyadari pertanyaan itu akan dialaminya setiap tahun, Syekh Abdullah memutuskan untuk menuliskannya dalam risalah kecil setebal 42 halaman. Risalah ini beliau tulis dengan ringkas. Meski demikian, menurut beliau, pembahasannya padat, tidak bertele dan memiliki banyak faedah. Risalah ini disarikan dari beberapa kitab-kitab besar terkait. Seperti kitab Al-Idhah karya Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Ma Ja’a fi Syahri Sya’ban karya Al-Hafidz Abu al-Khatib Dihyah al-Andalusi dan Fi Lailatin Nishfi karya Al-Ajhuri (seorang Syekh bermadhab maliki).
Menurut Syekh Abdullah, keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini sudah populer sejak dulu. Saat malam itu tiba, orang-orang akan menghidupkan malam dengan beribadah, memanjatkan doa dan membaca dzikir-dzikir. Meski begitu, menurut Syekh Abdullah, para ulama berbeda pendapat soal bagaimana prosedur yang tepat untuk menghidupkan malam mulia itu. Apakah bisa dilakukan dengan bersama-sama (berjama’ah) atau harus sendiri-sendiri? Apakah menambahkan ibadah di dalamnya termasuk bid’ah atau tidak? Semuanya memiliki argumen masing-masing.
Melihat realita itu, Syekh Abdullah memilih pendapat yang tidak memberatkan. Mungkin, hemat penulis, Syekh Abdullah tidak ingin memberatkan masyarakat yang sudah mendarah daging melakukan amalan-amalan malam Nisfu Sya’ban. Sehingga beliau memilih pendapat yang tidak mengusik masyarakat. Beliau memilih untuk tidak membid’ahkan. Meskipun dalil-dalil tentang amalam malam Nisfu Sya’ban itu berupa hadis dha’if, atau bahkan mungqathi’, itu sudah dianggap cukup karena amalan malam Nisfu Sya’ban merupakan dari fadha’ilul a’mal (bentuk amal ibadah yang dianjurkan sebagai pendorong untuk mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang terletak sebelum bulan suci Ramadhan. Di antara keistimewaannya, bulan tersebut adalah waktu dinaikkan amalan. Mengenai bulan Sya’ban, ada hadits dari Usamah bin Zaid. Ia pernah menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia tidak pernah melihat beliau melakukan puasa yang lebih semangat daripada puasa Sya’ban. Kemudian Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bulan Sya’ban –bulan antara Rajab dan Ramadhan- adalah bulan di saat manusia lalai. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2359. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Setiap pekannya, amalan seseorang juga diangkat yaitu pada hari Senin dan Kamis. Sebagaimana disebutkan dalam hadits : “Amalan manusia dihadapkan pada setiap pekannya dua kali yaitu pada hari Senin dan hari Kamis. Setiap hamba yang beriman akan diampuni kecuali hamba yang punya permusuhan dengan sesama. Lalu dikatakan, ‘Tinggalkan mereka sampai keduanya berdamai’.” (HR. Muslim no. 2565)
Belum lagi dasar amalan malam Nisfu Sya’ban terdapat dalam hadis yang tercatat dalam Sahih Muslim. Tentu, menurut Syekh Abdullah, ini lebih menguatkan kebasahan amalan malam Nisfu Sya’ban itu. Hadis itu diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA berikut : Dari Jabir ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya pada malam hari itu ada satu waktu yang tidaklah seorang muslim tepat pada waktu itu meminta kepada Allah kebaikan perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah pasti memberikannnya kepadanya. Dan waktu itu ada pada setiap malam.” (HR Muslim).
Melihat keumuman hadis ini, malam Nisfu Sya’ban masuk dalam kategori malam yang memiliki keistimewaan sebagaimana dimaksudkan dalam hadis. Sehingga wajar jika pada malam itu dianjurkan memperbanyak ibadah agar bisa meraih sesuatu yang dijanjikan: memperoleh doa yang pasti dikabulkan.
Sejarah Praktik Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Mengawali pembahasannya, Syekh Abdullah menjelaskan tentang sejarah peringatan malam Nisfu Sya’ban dan menjelaskan pula mengapa bisa terjadi perbedaan pendapat ulama: ada yang membenarkan dan mempraktikannya, ada pula yang membid’ahkannya.
Pertama kali yang memperingati malam Nishfu Sya’ban adalah dari kalangan Tabi’in penduduk negeri Syam, seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain. Mereka mengagungkan malam itu dan memperbanyak ibadah di dalamnya. Hingga kemudian tersiar kabar bahwa yang mereka lakukan itu bersumber dari atsar isra’iliyat (perkataan sahabat yang sebenarnya adalah buatan orang Yahudi -pen).
Setelah itu, ada dua kubu yang menyikapi peringatan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian mengikuti apa yang dilakukan para tabi’in negeri Syam. Mereka adalah orang-orang Bashrah dan yang lainnya. Sementara ulama penduduk Hijaz menentangnya dan menganggap sebagai praktik bid’ah. Di antara penduduk Hijaz itu adalah Imam ‘Atha, Ibu Abi Malikah dan para fuqaha dari kota Madinah.
Bentuk Praktik Ibadah Malam Nisfu Sya’ban
Para ulama negeri Syam berbeda pendapat soal bagaimana cara menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian dari mereka ada yang memperingatinya dengan beribadah secara berjama’ah di masjid dengan mengenakan pakaian terbaik, membakar kemenyan (untuk pengharum -pen), mengenakan sibak dan menghidupkan malam dengan beribadah di masjid tersebut. Pedapat ini didukung oleh Ishaq bin Rahaweh dan diunggulkan oleh Imam Al-Walid RA.
Sementara sebagian ulama Syam yang lain menghukumi makruh jika dilakukan berjamaah di masjid dalam bentuk membaca kisah-kisah dan berdoa. Tapi jika shalat sendiri di masjid untuk laki-laki, maka boleh. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Al-Auza’i, seorang imam bagi penduduk Syam saat itu.
Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban dan Dalilnya
Selanjutnya, Syekh Abdullah melanjutkan pembahasan keutamaan malam Nisfu Sya’ban dengan menyebutkan dalil-dalil yang menjadi dasar keutamaan malam Nisfu Sya’ban tersebut, baik dalam bentuk hadis maupun atsar sahabat. Ada 10 hadis yang beliau paparkan, di antaranya adalah hadis di bawah ini: “Ketika malam Nisfu Sya’ban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepadaKu maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada–Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada–Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba.”
Sementara atsar yang dikutip Syekh Abdullah adalah riwayat Nauf al-Bikali, dia berkata, “Sungguh Ali pada malam Nishfu Sya’ban beliau keluar (dari rumah) dan mengulanginya berkali-kali seraya melihat ke langit. Beliau berkata : “Sungguh saat ini tidaklah seseorang berdoa kepada Allah melainkan akan Ia kabulkan, tidaklah seseorang memohon ampunan kepada–Nya pada malam ini melainkan Ia akan mengampuninya, selama ia bukan seorang ‘asysyar (penarik pungutan liar), tukang sihir, tukang syair, tukang ramal, pengurus pemerintahan suatu daerah, tentara pilihan penguasa, penarik zakat, pemukul genderang dan tambur.”
Doa Malam Nisfu Sya’ban
Berikutnya, setelah membahas dalil keutamaan malam Nisfu Sya’ban, Syekh Abdullah menjelaskan doa yang biasa dibaca oleh masyarakat pada malam Nisfu Sya’ban. Menurutnya, membaca yasin tiga kali dengan niat khusus setiap selesai satu yasin, tidak memiliki dasar. Begitupun dengan shalat hajat yang dilakukan setelahnya dengan niat tertentu.
Syekh Abdullah hanya merekomendasikan doa yang memiliki dasar dalam Al-Quran.
Selanjutnya, Syekh Abdullah membahas tentang penentuan nasib manusia yang terjadi pada malam Nisfu Sa’ban, tentang ampunan Allah yang turun, beberapa perbuatan dosa besar dan pembahasan terakhir mengenai praktik shalat yang dilakukan masyarakat saat malam Nisfu Sya’ban.
Terkait shalat khusus yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban, menurut Syekh Abdullah, adalah bersumber dari hadis-hadis palsu (maudhu’) dan tidak boleh diamalkan. Di antara hadis itu adalah “Siapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya ia tidak akan meninggal dunia sebelum diperlihatkan surga baginya.” Setelah penguraian semua itu, Syekh Abdullah meringkasnya di akhir risalah sepanjang tiga halaman dan ditutup dengan syair pujian untuk keluarga Nabi Muhammad saw sebanyak 23 bait.
Taruhlah hadits keutamaan malam nisfu Sya’ban itu shahih, bukan berarti dikhususkan amalan khusus pada malam tersebut seperti kumpul-kumpul di malam nisfu Sya’ban dengan shalat jama’ah atau membaca Yasin atau do’a bersama atau dengan amalan khusus lainnya. Karena mengkhususkan amalan seperti itu harus dengan dalil. Kalau tidak ada dalil, berarti amalan tersebut mengada-ada. Walau sebagian ulama ada yang menganjurkan shalat di malam nisfu Sya’ban. Namun shalat tersebut cukup dilakukan seorang diri.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nisfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan shalat.” Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nisfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nisfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”
(Majmu’ Al-Fatawa, 23: 131).
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai pendukung sehingga tidak perlu diingkari.” (Majmu’Al-Fatawa, 23: 132).
Malam Nisfu Sya’ban sama dengan Malam Lainnya
Kalau kita biasa shalat tahajud di luar nisfu Sya’ban, nilainya tetap sama dengan shalat tahajud di malam nisfu Sya’ban.
‘Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nisfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam nisfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam nisfu Sya’ban saja, –
pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam nisfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).
(Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab, no. 49678)
Cukup Perbanyak Amalan Puasa di Bulan Sya’ban
Kalau mau meraih kebaikan, bisa diraih dengan memperbanyak puasa sunnah di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.”
(HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156).
Yang Punya Utang Puasa Ramadhan Segera Lunasi
Bagi yang punya utang puasa Ramadhan, segeralah dilunasi karena bulan Sya’ban adalah bulan terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan : “Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146).
Perbanyak Pula Amalan Bacaan Al-Qur’an di Bulan Sya’ban
Salamah bin Kahil berkata :
“Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan membaca Al Qur’an.”
‘Amr bin Qois ketika memasuki bulan Sya’ban, beliau menutup tokonya dan lebih menyibukkan diri dengan Al Qur’an.
Abu Bakr Al Balkhi berkata : “Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadhan saatnya menuai hasil.” (Lihat Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 92748).
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah
Penulis : Gunadi, ST, MM
Ketua Bidang Ukhuwah & KUB MUI DKI Jakarta